Etika
Periklanan Indonesia
1.
Definisi
Periklanan
Menurut Kotler
Sebagai bentuk
penyajian dan promosi ide, barang, atau jasa secara non personal oleh suatu
sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran.
Menurut Paul Copley
Secara garis besar
dapat dilihat sebagai “seni”, – seni mengajak – dan bisa didefinisikan sebagai
yang perlu dibayarkan untuk merancang komunikasi yang informatif dan persuasif.
“Jadi
periklanan adalah pesan berbayar yang komunikatif dan persuasif dalam tujuan
mempromosikan ide, barang atau jasa”
2.
Pengertian
Etika Periklanan
Sedangkan
etika periklanan adalah ukuran kewajaran nilai dan kejujuran didalam sebuah
iklan. Menurut Persatuan Perusahaan Periklanan Indoneasia (P3I), etika
periklanan adalah seperangkat norma dan padan yang mesti dikuti oleh para
politis periklanan dalam mengemas dan menyebarluaskan pesan iklan kepada
khalayak ramai baik melalui media massa maupn media ruang. Menurut EPI (Etika
Pariwara Indonesia), etika periklanan adalah ketentuan-ketentuan normatif yang
menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihornati,
ditaai, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembangannya.
3.
Tujuan Periklanan
Tujuan
periklanan adalah beberapa hal utama yang harus dicapai dengan upaya
periklanan. Suatu tujuan memiliki 3 fungsi dalam manajemen, yaitu:
Sebagai alat bagi komunikasi dan
koordinasi
Memberikan kriteria dalam pengambilan
keputusan
Sebagai alat bagi evaluasi.
Menurut
T.A. Shimp, ada tiga alasan utama dalam penyusunan tujuan periklanan
(Missions), yaitu :
Tujuan periklanan merupakan ekspresi
dari konsensus manajemen.
Penyusunan tujuan memandu aspek-aspek
penganggaran, pesan dan media dari strategi periklanan suatu merek.
Tujuan periklanan menyediakan ketetapan
sehingga hasil periklanan dapat diukur.
Iklan
tidak dapat secara langsung dikatakan bisa mempengaruhi tingkat penjualan. Hal
ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
Iklan bukan satu-satunya alat yang dapat
digunakan untuk melaksanakan kegiatan pemasaran
Iklan memberikan dampak bagi peningkatan
penampilan perusahaan dalam jangka panjang.
4.
Kriteria
Tujuan Periklanan yang Baik
Mencakup suatu pernyataan yang pasti
tentang siapa (who), apa (what), dan kapan (when).
Kuantitatif dan dapat diukur
Menyatakan jumlah/besarnya perubahan
yang diinginkan.
Realistis
Konsisten secara internal
Jelas dan tertulis
5.
Contoh Tujuan Periklanan (Advertising Objective)
Membangun
kesadaran merek atas 90% target audience. Menggunakan pengulang pesan pada
majalah, TV, Radio.
6.
Fungsi umum komunikasi dari periklanan
Informing
Bersifat menyadarkan
konsumen akan merek baru, mengedukasi konsumen tentang berbagai fitur dan
manfaatnya, serta memfasilitasi penciptaan citra merek yang positif.
Persuading
Bersifat mempengaruhi
pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan.
Reminding
Bersifat menjaga merek
untuk tetap dalam ingatan konsumen atau bahkan menjadi yang paling diingat.
Hingga mendapatkan kesetiaan konsumen.
Adding Value
Bersifat memberi nilai
tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen yang kemudian akan
memberikan nilai postif terhadap brand image.
7.
Diatur dalam Etika Pariwara Indonesia Indonesia
(EPI)
EPI
menyusun pedoman tata krama periklanannya melalui dua tatanan :
a)
Tata Krama (Code of Conducts)
Metode penyebarluasan pesan
periklanan kepada masyarakat, yang bukan tentang unsur efektivitas, estetika,
dan seleranya. Adapun ketentuan yang dibahas meliputi:
v Tata
krama isi iklan
v Tata
krama raga iklan
v Tata
krama pemeran iklan
v Tata
krama wahana iklan
b)
Tata Cara (Code of Practices)
Hanya mengatur praktek
usaha para pelaku periklanan dalam memanfaatkan ruang dan waktu iklan yang adil
bagi semua pihak yang saling berhubungan.
Ada 3 asas umum yang
EPI jadikan dasar, yaitu :
v Jujur,
benar, dan bertanggung jawab.
v Bersaing
secara sehat
v Melindungi
dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan,
serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
8.
Tata Krama Periklanan yang diatur oleh EPI
Diatur
berdasarkan isi iklan dan ragam iklan :
Isi Iklan
Hak
Cipta
Penggunaan, penyebaran,
penggandaan, penyiaran atau pemanfaatan lain materi atau bagian dari materi
periklanan yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau
pemegang merek yang sah.
Bahasa
Iklan harus disajikan dalam bahasa
yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian
(enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh
perancang pesan iklan tersebut.
Iklan tidak boleh menggunakan
kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata
berawalan “ter“, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan
keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari
otoritas terkait atau sumber yang otentik.
v Penggunaan kata-kata tertentu harus
memenuhi ketentuan berikut:
1. Penggunaan kata ”100%”, ”murni”,
”asli” untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan
sebagainya, harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas
terkait atau sumber yang otentik.
2. Penggunaan kata ”halal” dalam iklan
hanya dapat dilakukan oleh produk-produk yang sudah memperoleh sertifikat resmi
dari Majelis Ulama Indonesia, atau lembaga yang berwenang.
3. Pada prinsipnya kata halal tidak
untuk diiklankan. Penggunaan kata “halal” dalam iklan pangan hanya dapat
ditampilkan berupa label pangan yang mencantumkan logo
Halal untuk produk–produk yang sudah
memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesia atau lembaga yang
berwenang.
1. Kata-kata ”presiden”, ”raja”, ”ratu”
dan sejenisnya tidak boleh digunakan dalam kaitan atau konotasi yang negatif.
Tanda
Asteris (*)
Tanda
asteris pada iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan,
menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja,
atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang
ketidaktersediaan sesuatu produk.
Tanda
asteris pada iklan di media cetak hanya boleh digunakan untuk memberi
penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda
tersebut.
Penggunaan
Kata ”Satu-satunya”
Iklan tidak
boleh menggunakan kata-kata “satu-satunya” atau yang bermakna sama, tanpa
secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya
dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggung jawabkan.
Pemakaian
Kata “Gratis”
Kata
“gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan,
bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang
dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.
Pencantum Harga
Jika harga sesuatu produk
dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga
konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.
Rasa Takut dan Takhayul
Iklan tidak boleh
menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan
orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
Kekerasan
Iklan tidak boleh –
langsung maupun tidak langsung – menampilkan adegan kekerasan yang merangsang
atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
Keselamatan
Iklan tidak boleh
menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia
tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.
Perlindungan Hak-hak Pribadi
Iklan tidak boleh
menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat
massal, atau sekadar sebagailatar, sepanjang penampilan tersebut tidak
merugikan yang bersangkutan.
9.
Etika Persaingan Dalam Periklanan
Etika
dan tata krama harus dipenuhi dalam segala aktivitas periklanan untuk
mendapatkan respon positif dan menjauhi sikap penolakan dari audience.
Dalam
etika periklanan dikenal prinsip Swakramawi (self-regulation) adalah suatu
prinsip atau paham yang dianut oleh mayarakat periklanan di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Bahkan tidak hanya pada kode etik periklanan prinsip ini
diterapkan, namun juga di banyak kode etik profesi maupun kode etik bisnis
lainnya.
Pada
awal dikenalnya swakramawi, sepenuhnya adalah dimaksudkan untuk melindungi
pelaku perniagaan dari persaingan yang tidak adil atau tidak sehat. Tujuan ini
kemudian berkembang seiring dengan ketatnya persaingan dan kian kuatnya gerakan
konsumerisme sehingga kini swakramawi lebih banyak ditujukan untuk melindungi
konsumen. Secara sederhana, tujuan penerapan prinsip swakramawi adalah: untuk
dapat dengan sebaik-baiknya mempertahankan kewibawaan komunikasi pemasaran –
termasuk periklanan demi kepentingan semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar